Guru Honorer Indonesia Bergaji Rp8,6 Juta di Malaysia
Setiap 25 November, Indonesia memperingati Hari Guru Nasional. Peringatan ini telah dicetuskan sejak 1994 sesuai dengan keputusan presiden. Lalu, bagaimana nasib guru-guru saat ini?
Pekan lalu, Okezone berkesempatan mengunjungi sekolah khusus anak-anak Indonesia yang mengikuti orangtuanya bekerja di Malaysia. Tepatnya di Community Learning Center (CLC) Rajawali di ladang milik Sime Darby di Bintulu, Sarawak, Malaysia. CLC adalah institusi pendidikan yang menyediakan akses pelayanan pendidikan dasar (SD) bagi anak-anak pekerja ladang berkewarganegaraan Indonesia yang berada di beberapa wilayah di Malaysia.
Pekan lalu, Okezone berkesempatan mengunjungi sekolah khusus anak-anak Indonesia yang mengikuti orangtuanya bekerja di Malaysia. Tepatnya di Community Learning Center (CLC) Rajawali di ladang milik Sime Darby di Bintulu, Sarawak, Malaysia. CLC adalah institusi pendidikan yang menyediakan akses pelayanan pendidikan dasar (SD) bagi anak-anak pekerja ladang berkewarganegaraan Indonesia yang berada di beberapa wilayah di Malaysia.
Di CLC Rajawali, Okezone bertemu salah seorang warga negara Indonesia yang menjadi pengajar atau guru honorer di sana. Ninik Dwi Wahyuni namanya. Perempuan berusia 37 tahun itu mengaku sejahtera menjadi tenaga ajar di CLC Rajawali.
Dia sangat mengapresiasi pihak perusahaan yang memberikan kesejahteraan finansial terhadap pengajar CLC. Sebagai pengajar CLC, dia mengaku mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan gaji yang memuaskan. Kesejahteraan yang dialami warga asal Sragen, Jawa Tengah ini tentu tidak seperti pengajar di Indonesia.
Nasib Ninik terbilang mujur. Pasalnya, penghasilan yang diterima Ninik dari pihak perusahaan maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) jauh lebih besar dibanding gaji guru di Indonesia.
"Gaji guru di sini didapatkan sebagian dari perusahaan, sebagian dari kementerian," kata Ninik.
Dari perusahaan, Ninik mendapatkan gaji pokok sekitar RM2.000 (ringgit Malaysia) atau setara Rp6,8 juta per bulan. Jika bekerja lembur, maka akan ada honor tambahan yang diperoleh. Selain dari perusahaan, Ninik juga diberikan insentif dari Kemendikbud tiap tahun. Sama dengan guru lainnya di CLC-CLC yang ada.
"Gaji dari perusahaan turun naik, kadang 1.900 ringgit, kadang 2.000 ringgit," jelas Ninik.
Artinya, dari mengajar di negeri orang Ninik bisa mendapat gaji sebesar Rp8,6 juta per bulan. Namun, materi bukanlah hal utama bagi Ninik. Karena, niat tulusnya menjadi tenaga ajar adalah untuk mencerdaskan anak bangsa.
"Kami melihat banyak anak Indonesia di sini. Jadi siapa lagi kalau bukan kita yang akan mempedulikan pendidikan anak-anak Indonesia di sini," ujarnya.
Community Learning Center (CLC) Rajawali di Ladang Milik Sime Darby di Bintulu, Sarawak, Malaysia (foto: Okezone/Ade Putra) |
Mengajar di CLC Rajawali menurutnya merupakan panggilan hati. Ninik berkeinginan jika anak-anak Indonesia ini kembali ke Tanah Air bisa melanjutkan pendidikannya.
"Dulu anak-anak sekolah di Tadika (Taman Pendidikan Kanak-Kanak). Jadi, pelajaran yang diberikan pelajaran Malaysia. Tapi sejak ada CLC, kurikulum Indonesia, pelajarannya, pakaiannya, sama seperti di Indonesia," tuturnya.
Ninik bercerita, awalnya dia hanya mengikuti sang suami yang bekerja ladang di Sime Darby. Kala itu, Ninik hanya sebagai tenaga bantu di perusahaan tersebut.
"Saya membantu pihak office, bagian mengurusi file, email dan lain sebagainya," ceritanya.
Ninik memang tidak berlatar-belakang di dunia pendidikan atau guru. Tapi, sebelum menginjakkan kaki ke Jiran, dia pernah menjadi sukarelawan pengajar di salah satu sekolah di wilayah Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Kala itu dia membantu mengajar PKN dan Bahasa Inggris.
"Waktu itu di sana (Kubu Raya) tidak ada tenaga ajar. Jadi kami diminta membantu. Waktu itu saya ikut keluarga di sana," kenangnya
Kemampuan itulah yang membuat hati Ninik terketuk untuk mengajar anak-anak Indonesia di ladang. Sejak itu juga proses belajar mengajar anak-anak Indonesia di sana sudah dimulai. Tepat pada 2005 lalu.
"Tapi itu masih di rumah-rumah, tidak di gedung sekolah," kenangnya.
Melihat keseriusan Ninik dan tenaga ajar lainnya, akhirnya pihak perusahaan menawari mereka menjadi sebagai seorang guru lokal yang nanti akan mendapat semua fasilitas dan terdaftar di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Kuching maupun Kemendikbud.
Ninik yang menerima tawaran itu kemudian harus mengikuti pelatihan di KJRI Kuching yang dibuka pertama kali pada tahun 2011. "Saya mendidik anak-anak bangsa di sini sejak 2005. Setelah itu, 2011 baru ikut pelatihan dan pada 2014 gedung CLC dibangun secara permanen oleh pihak perusahaan," ujarnya.
Saat ini, CLC Rajawali sudah memiliki 144 murid yang terbagi menjadi enam kelas. Selain Ninik, juga ada dua guru lainnya yang mendidik murid CLC Rajawali ini. Satu guru profesional yang dikirim oleh Kemendikbud. Beberapa lulusan CLC Rajawali juga sudah ada yang melanjutkan pendidikan di Indonesia.
Prestasi yang yang ditoreh pun cukup membanggakan. Pernah menjadi juara satu lomba cerdas cermat matematika antar seluruh CLC di Sarawak. Bahkan beberapa murid CLC Rajawali juga pernah dikirim ke Kuala Lumpur untuk mengikuti Kompetisi Sains, Seni dan Olahraga (KS2O).
Seluruh fasilitas di CLC Rajawali juga dipenuhi oleh pihak perusahaan. Bangunan CLC dibangun dengan kokoh dengan material permanen. Bahkan, terdapat AC di setiap ruang belajar.
Yang jelas, anak-anak Indonesia yang bersekolah di sana, sama sekali tidak dipungut biaya dalam proses pembelajaran. Bantuan dana BOS dan BOP dari Kemendikbud juga ada untuk pendidikan di sana. Dana BOS dan BOP pertama kali diterima sebanyak RM28 ribu.
"Alhamdulillah atas semua ini. Saya cuma sedihnya melihat anak-anak yang harus berangkat naik bus ke sekolah sejak pukul lima pagi. Karena ladang-ladang tempat orangtua mereka bekerja cukup jauh kan," tutup ibu dua anak ini.
Ringgi Perdini, Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial dan Budaya KJRI di Kuching menambahkan, KJRI Kuching selalu hadir untuk membantu anak-anak Pekerja Migran Indonesia (PMI) mendapat pendidikan di Sarawak.
"Kita selalu support. Misal ada siswa CLC yang berprestasi dan ingin ikut lomba seperti kompetisi sains, seni dan olahraga, kita fasilitasi secara legal. Ini bentuk perhatian kita terhadap pendidikan di sini," ujarnya.
Untuk mendorong pendidikan anak-anak PMI ini, kata Ringgi, KJRI juga mendorong pihak perusahaan dimana orang tua anak itu bekerja, untuk menyediakan fasilitas pendidikan. "Dari awal KJRI memang datang ke perusahaan untuk menjelaskan CLC itu apa. Jadi kita menyampaikan bahwa CLC ini bukan hanya diperlukan anak-anak Indonesia, tapi juga diperlukan pihak perusahaan," tuturnya.
Apapun yang berhubungan dengan pendidikan anak Indonesia, pasti dibantu oleh pihak perusahaan. Tapi, harus ada surat dari KJRI. "Tanpa ada surat dari KJRI, perusahaan tidak akan membantu apapun. Jadi kita selalu buat surat ke perusahaan jika diperlukan bantuan fasilitas untuk anak-anak CLC. Termasuk misalnya untuk sekolahnya yang sudah tidak bagus, maka kami buatkan surat ke perusahaan," terangnya.
Ringgi menjelaskan, untuk guru di CLC ada dua jenis. Yakni guru bina yang artinya profesional diantar dari Kemendikbud. Lalu, guru pembantu atau guru pamong seperti Ninik. "Kalau untuk kesejahteraan, gaji guru di sini kita minta minimal sesuai UMR. Sekitar 1.100 ringgit Malaysia per bulan. Itu di luar overtime," tutup Ringgi.
Sementara Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Mokhammad Farid Maruf mengatakan, setiap tahunnya Kemendikbud mengirim sekitar 300 guru dari Indonesia ke wilayah Sabah dan Sarawak. Sedangkan untuk guru pamong (orang Indonesia berada di Malaysia yang sebelumnya tidak menjadi guru) ada sekitar 400 orang.
"Terhadap guru pamong tersebut KBRI Kuala Lumpur terus memberikan pelatihan," jelasnya.
Farid menyampaikan, KBRI Kuala Lumpur bertugas memfasilitasi akses pendidikan bagi anak Indonesia baik di wilayah Semenanjung atau Sabah, Sarawak. Namun saat ini wilayah yang baru mendapatkan izin dari Pemerintah Malaysia hanya di Sabah dan Sarawak. KBRI Kuala Lumpur saat ini sedang mengusahakan perizinan sekolah untuk anak Indonesia di wilayah Semenanjung.
"Pemerintah Malaysia belum memberikan izin untuk aktivitas seperti CLC di wilayah Semenanjung. Tetapi Kementerian Pendidikan Malaysia secara umum tetap memberikan dukungan," ujarnya.
otal CLC di wilayah Sabah dan Sarawak berjumlah 370 CPC. Dengan siswa sekitar 12.000 jiwa. Jumlah tersebut tidak pernah mengalami penurunan setiap tahunnya. Ada juga yang mengikuti program Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) atau program kejar paket yang diikuti sekitar 12.000 hingga 14.000 orang.
Setelah lulus sekolah, siswa tersebut akan direpatriasi ke Indonesia. Pada Agustus lalu KBRI Kuala Lumpur telah mengirimkan 620 siswa untuk masuk sekolah di Indonesia. 500 diantaranya bahkan mendapatkan beasiswa dari Kemendikbud. Kemudian sisanya akan dicarikan beasiswa di yayasan.
Kemudian setelah lulus SMA di Indonesia, siswa anak PMI tersebut ada beasiswa khusus Afirmasi Dikti. Pada tahun ini ada 120 anak yang lolos di perguruan tinggi. Ditambah dengan yang memperoleh beasiswa bidikmisi sekitar 148 siswa.
"Beberapa siswa alumni CLC ada juga yang mendapatkan beasiswa ke China, sekolah pilot, pramugari. Anak-anak alumni CLC juga diakui memiliki daya juang tinggi jika dibandingkan dengan siswa lokal," ujarnya.
Pada intinya, kata Farid, pendidikan akan selalu menjadi pekerjaan rumah bagi KBRI Kuala Lumpur karena jumlah siswa akan terus bertambah. "Kenyataannya kebanyakan pekerja tidak memiliki dokumen sehingga enggan menyekolahkan anaknya," tutup dia.
Artikel ini telah tayang di okezone.com dengan judul "Melihat Kesejahteraan Guru Honorer Indonesia Bergaji Rp8,6 Juta di Malaysia"
Post a Comment for "Guru Honorer Indonesia Bergaji Rp8,6 Juta di Malaysia"